Pengukuran
Frekuensi dan Beda Fasa
Dalam pengukuran
frekuensi dan phase tentunya ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk
mendapatkan hasil pengukuran dari frekuensi dan phase itu sendiri. Dalam hal
ini pada umumnya digunakan osiloskop
dalam penentuan nilai fekuensi dan phase.
Osiloskop adalah alat
yang digunakan untuk menganalisa tingkah laku besaran arus maupun tegangan yang
berubah-ubah terhadap waktu, yang diketahui melalui tampilan pada layar
osiloskop. Osiloskop sering dikenal dengan CRO (Cathode-Ray Oscilloscope =
osiloskop sinar katoda) yang merupakan alat ukur yang digunakan untuk mengukur
tegangan listrik, beserta frekuensi dan fasenya, sekaligus menampilkan bentuk
sinyal tegangan tersebut.
Ada beberapa kegunaan
osiloskop lainnya, yaitu:
1. Mengukur
besar tegangan listrik dan hubungannya terhadap waktu.
2. Mengukur
frekuensi sinyal yang berosilasi.
3. Mengecek
jalannya suatu sinyal pada sebuah rangakaian listrik.
4. Membedakan
arus AC dengan arus DC.
5. Mengecek
noise pada sebuah rangkaian listrik dan hubungannya terhadap waktu.
Osiloskop terdiri dari
dua bagian utama yaitu display dan panel kontrol. Display menyerupai tampilan
layar televisi hanya saja tidak berwarna warni dan berfungsi sebagai tempat
sinyal uji ditampilkan. Pada layar ini terdapat garis-garis melintang secara
vertikal dan horizontal yang membentuk kotak-kotak dan disebut div. Arah
horizontal mewakili sumbu waktu dan garis vertikal mewakili sumbu tegangan.
Panel kontrol berisi tombol-tombol yang bisa digunakan untuk menyesuaikan
tampilan di layar.
Pada umumnya osiloskop
terdiri dari dua kanal yang bisa digunakan untuk melihat dua sinyal yang
berlainan, sebagai contoh kanal satu untuk melihat sinyal masukan dan kanal dua
untuk melihat sinyal keluaran.
Gambar 1. Bentuk Osiloskop
Adapun cara perhitungan
untuk osiloskop yaitu :
1.
Perhitungan
frekuensi Osiloskop
Cara menghitung
Frekuensi Osiloskop.
Untuk menghitung
frekuensi yang ada pada osiloskop adalah sebagai berikut :
Gambar 2. Perhitungan Frekuensi
Cara Perhitungan:
F= 1/T
T= 1 Periode (gel.penuh) x time/div
*catatan T harus dalam bentuk satuan second
Jadi untuk menghitung frekuensi,
kita harus mengetahui berapa div periodenya dan time/div yang ditunjuk oleh
soal/osiloskop. Untuk T sendiri nantinya satuannya disesuaikan dengan satuan
time / div. second, mili second, atau micro second. berikut adalah perbandingan
konversi second:
1 milisecond = 1.10-3
1 microsecond = 1.10-6
Jadi saat kita mengukur ternyata 1
periodenya 5 div menggunakan time/div 2 microsecond/div maka :
T= 5 x 2 microsecond/div
= 10 microsecond
F= 1/T
F=1/1.10-2
F=100 Hz
Jadi frekuensi nya adalah 100 hz
2.
Perhitungan
Frekuensi Tegangan AC
Osiloskop pada dasarnya dapat digunakan sebagai alat ukur untuk mengukur
besaran tegangan AC dan Frekuensinya dengan cara menampilkan bentuk gelombang
dari pengukuran tersebut. Tegangan AC yang diukur akan menampilkan bentuk
gelombang sinus yang kemudian dengan gelombang sinus tersebut kita hitung
frekuensinya berdasarkan Perioda gelombang yang ditampilkan. Tegangan AC
(Alternating Current) sering dikenal juga dengan Tegangan Bolak Balik merupakan
listrik yang arah arusnya selalu berubah-ubah atau bolak-balik. Pada umumnya
Tegangan AC berbentuk gelombang Sinus.
Dalam pengukuran
frekuensi tegangan AC dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Hubungkan
tegangan yang akan diukur (dalam hal ini AFG) ke probe osiloskop (CH1 / CH2).
b. Atur
tombol AC – GND – DC pada AC .
c. Bila
pengukuran dengan probe , dan sensitivitas 5
Volt/Div, maka :
Tegangan puncak () = harga yang
ditunjukkan oleh Volt/Div x simpangan dari puncak ke puncak.
= 5 Volt/Div x 4 Div = 20 V
Jika bentuk gelombang tegangan berupa sinus, maka :
Tegangan efektif () =
Gambar 3. Pengukuran Frekuensi
Tegangan AC
3.
Pengukuran
Frekuensi Arus AC
a. Sinyal AC diarahkan ke CH
input dan stel saklar mode untuk menampilkan bentuk gelombang yang diarahkan ke
CH tersebut.
b. Distel saklar VOLT/ DIV
untuk menampilkan kira- kira 5 DIV bentuk gelombang.
c. Distel saklar SEC/ DIV untuk
menampilkan beberapa gelombang.
d. Atur penampilan gelombang secara vertikal
sehingga puncak gelombang negatif, gelombang berhimpit dengan salah satu garis
gratikul horizontal.
e. Atur tampilan gelombang secara
horizontal, sehingga puncak berimpit dengan pusat garis gratikul
vertikal.
f. Hitunglah tegangan puncak- kepuncak
( Peaks to peaks ) dengan menggunakan persamaan:
Volt ( p.p ) = ( difleksi
vertikal ) x ( penempatan saklar Volt/ Div).
Untuk mengukur arus
dilakukan secara tidak langsung dengan R = 1 W untuk mengukur drop tegangan.
Misalnya:
Vp = 50 mV/div · 3div
= 150 mV = 0,15 V
Vrms = 0,15 / V2 = 0,1
V
I = Vrms/R = 0,1V / 1Ω
= 0,1 A
Bentuk sinyal arus
yang melalui resistor R adalah sinusoida menyerupai tegangan. Pada beban
resistor sinyal tegangan dan sinyal arus akan sephasa.
Gambar
4. Pengukuran Arus AC
4.
Pengukuran
Beda Phase
Beda fase adalah pengukuran yang relatif yang terukur
antara dua gelombang. Tidak ada gelombang yang memiliki nilai fase yang absolut
karena tidak ada referensi universal dalam pengukuran fase . Jadi, pengukuran
beda fase tidak mungkin ada apabila kita hanya punya satu gelombang karena beda
fase adalah hasil pengukuran antara dua gelombang. Tetapi umumnya dalam analisa
rangkaian AC, gelombang tegangan dari sumber dayanya digunakan sebagai
referensi fasenya, biasanya nilai sumber tegangannya dinyatakan sebagai “xxx
volt pada 0 derajat”. Tegangan atau arus lainnya dalam rangkaian itu akan
memiliki beda fase yang diukur relatif terhadap fase sumber tegangan tersebut.
Gambar
5. Contoh-contoh Beda Phase
Apabila diketahui nilai tegangan dan arus pada suatu
komponen memiliki persamaan v = 20 sin (ωt + 30o) dan i = 18 sin(ωt
- 40o) , gambarkan diagram fasornya, hitung beda fasenya, dan
gambar bentuk gelombangnya.
Bentuk fasenya ditunjukkan pada gambar 6 . Dari sini
anda dapat melihat bahwa v mendahului i sebesar 70o.
Bentuk gelombangnya ditunjukkan pada gambar 6b.
Gambar 6. Bentuk Fase
Gambar 7 menunjukkan sepasang gelombang v1 dan v2
pada suatu osiloskop. Masing-masing volt per div (skala vertikal) menunjukkan
nilai 20 V dan masing-masing time per div (skala horisontal/waktu) menunjukkan
20 μs. Tegangan v1 mendahului v2. Gambarkan diagram
fasornya dengan v1 sebagai referensinya. Tentukan persamaan kedua
tegangan tersebut.
Gambar 7. Sepasang gelombang v1 dan v2
Dari gambar di atas, magnitudo dari
v1 adalah Vm1 = 3 div × 20 V/div = 60 V, Vm2 =
40 V. Panjang satu periode adalah T = 6 × 20 μs = 120 μs, dan beda fase antara
dua gelombang tersebut adalah satu kotak atau 1 div yang bernilai 20 μs (1/6
dari periodenya = 60o). Dengan memilih v1 sebagai
referensinya dan v2 tertinggal, maka diagram fasornya ditunjukkan
pada gambar b. Frekuensi sudutnya adalah ω = 2π/T = 2π/(120×10-6 s)=
52.36×103 rad/s.
Oleh karena itu, persamaan kedua
tegangan tersebut adalah v1 = Vm1 sin ωt = 60 sin
(52.36×103 t) V dan v2 = 40 sin (52.36×103 t –
60o) V.
5.
Metode
Lissajous
Metode ini dipakai untuk mengukur
frekuensi dengan menggunakan signal yang telah diketahui frekuensinya sebagai
referensi. Dengan menggunakan perbandingan frekuensi dapat dihitung melalui
persamaan :
f
= x [f – signal dari f – generator (input
horisontal)]
Jumlah
titik potong sepanjang skala horisontal adalah = 3
Jumlah
titik potong sepanjang skala vertical adalah = 2
Pengukuran beda fasa dengan model
lissajous dapat dilakukan dengan langkah-langkah sebagai berikut :
1.
Lakukan setting-up dan kalibrasi CRO
2.
Siapkan function generator (AFG),
pilih pada bentuk sinus
3.
Kedua sinyal dihubungkan pada kedua
terminal masukan CRO
4.
Dengan saklar pemilih channel ke
DUAL lihatlah beda fasa pada layar CRO
5.
Untuk melihat pola lissajous atur
saklar SWEEP time/divisi pada posisi XY. Tampilan peraga berdasarkan
perbandingan dan perbedaan fasa ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar 8. Perbandingan frekuensi 1 : 3 beda fasa 90
derajat
Gambar 9. Pola lissajous menampilkan
beda fasa sinyal input-output
Rumus yang
dipakai untuk mencari sudut beda fasa ( Δ φ ) adalah :
Φ = arc sin Vo / Vin
Dimana , Vo
= Xc / (Rpot + Xc) Vin
Xc = 1 / ( 6,28 f C )
Ü Beda phasa 0° atau
360°
Dua
sinyal yang berbeda, dalam hal ini sinyal inputdan sinyal output jika dipadukan
akan menghasilkankonfigurasi bentuk yang sama sekali berbeda.Sinyal input
dimasukkan ke kanal Y (vertikal) dansinyal output dimasukkan ke kanal X
(horizontal)berbeda 0°, dipadukan akan menghasilkan sinyalpaduan berupa garis
lurus yang membentuksudut 45°
Gambar
10. Beda Phasa 00 atau 3600
Ü Beda phasa 90° atau
270°
Sinyal
vertikal berupa sinyal sinusoida. Sinyal horizontal yang berbeda phasa 90°
atau270° dimasukkan. Hasil paduan yang tampil pada layar CRT adalah garis
bulat.
Gambar
11. Beda Phasa 900 atau 2700
gambar nya kok ga ada ya gan?
BalasHapusiya gan lupa beli kuota pas upload gambarnya :v
Hapusupload lagi lah gann
Hapusheheh
soalnya juga bermanfaat ni gan
👍👍